Takengon-wartagayo.com
Perguruan Tinggi berperan penting dalam pencerdasan bangsa, dalam sejarah bangsa-bangsa moderen, perguruan tinggi mengemban misi idiologis dalam desiminasi dan promosi nilai-nilai yang dianut bangsa bersangkutan.
Keberadaan dan kiprah pendidikan tinggi di tanah air merupakan fenomena baru.
Pemerintah kolonial mendirikan Institut Teknologi di Bandung sebagai perguruan tinggi pertama pada tahun 1924.
Angatan pertama di kampus ini hanya terdiri dari dari 28 mahasiswa (hanya dua mahasiswa yang berstatus pribumi).
Meskipun relatif baru, perkembangannya perguruan tinggi pasca kemerdekaan telah menunjukkan kiprah yang tidak dapat diabaikan.
Di era Orde Lama dan Orde Baru, perguruan tinggi telah memainkan peran sebagai pendobrak kebuntuan yang kemudian menjadi bagian tidak terpisahkan dari kekuasaan pemerintahan.
Dalam peristiwa reformasi tahun 1998, perguruan tinggi dengan mahasiswa di garda terdepannya kembali menunjukkan peran sebagai penjaga kewarasan dan akal sehat demokrasi di Indonesia.
Secara normatif dan idealistik, pendidikan tinggi berfungsi meningkatkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa.
Pendidikan tinggi melalui tiga darma yang diembannya berfungsi mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kehadiran perguruan tinggi di tanoh Gayo mempunyai pijakan historis yang sangat idealistik dan kontekstual. Pada tahun 1980-an, sejumlah tokoh di dataran tinggi Gayo yang prihatin terhadap kualitas sumber daya manusia dikawasan ini telah menginisiasi berdirinya perguruan tinggi.
Pendidikan tinggi dipandang sebagai salah satu persyaratan dalam percepatan peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Melalui proses berliku dan berhadapan dengan pesimisme dan sinisme dari sejumlah pihak, para inisiator dengan latar belakang profesi yang beragam konsisten memperjuangkan kehadiran institus pendidikan tinggi.
Untuk menyamakan persepsi dan strategi pendirian perguruan tinggi ini, para tokoh tersebut mengadakan pertemuan informal secara rutin.
Hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada Bupati Aceh Tengah saat itu, Letnan Kolonel Beni Bantacut.
Para inisiator juga menempuh strategi percepatan terwujudnya perguruan tinggi melalui jalur legislatif.
Komunikasi informal dan formal dilakukan dengan sejumlah anggota DPRD Aceh Tengah untuk membangun persepsi yang sama terkait signifikansi pendirian perguruan tinggi.
Setelah dibahas oleh anggota legislatif, hasilnya dituangkan dalam Surat Keputusan Nomor: 421.4/06/1984 tanggal 28 Juli 1984 yang berisi rekomendasi kepada pemerintah daerah Aceh Tengah untuk menindaklanjuti usulan pendirian perguruan tinggi.
Keputusan lembaga legislatif tersebut berisi pokok pikiran sebagai berikut: Pertama, menyarankan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Tengah agar membuka/mendirikan Universitas/ Perguruan Tinggi di Takengon,
jika mungkin dimulai pada tahun ajaran 1984/1985; Kedua, Universitas dimaksud diusahakan memiliki Fakultas yang meliputi Kejuruan terutama, Pertanian, Umum dan Agama;
Ketiga, Persiapan, pembangunan dan pengembangan Universitas dimaksud dijadikan sebagai salah satu Program Pembangunan Daerah Kabupaten Daerah TK. II Aceh Tengah. Merespon usulan tersebut,
Bupati Aceh Tengah melalui Surat Keputusan Nomor: 19/1984 membentuk Panitia Pembangunan Perguruan Tinggi Swasta yang menginisiasi lahirnya Yayasan Gajah Putih yang dikukuhkan melalui Akte Notaris Ny. Jahara Pohan, SH., yang berkantor di Peunayong, Banda Aceh.
Susunan pengurus perdana Yayasan Gajah Putih dalam Akte Notaris Nomor: 37 tanggal 25 Pebruari 1986 adalah: Ketua Umum: M. Djamil (Bupati Tk. II. A. Tengah); Ketua I, Drs. M. Syarief (Sekda A. Tengah); Ketua II, Drs. H. Mahmud Ibrahim; Ketua III, Drs. Arifin. MR Bantacut; Sekretaris, Drs. Samarnawan; Bendahara, Harun Ugati; Pembantu Umum, Drs. Mustafa Ali (Lhokseumawe) dan Drs. Yusuf Rawakil (Medan).
Pasal 2 Akte Yayasan Gajah Putih menyatakan bahwa maksud dan tujuan yayasan ini diantaranya adalah membina putra/putri bangsa pada umumnya guna meningkatkan pendidikan umum dan pendidikan agama,
Serta moril dan spiritual dalam arti seluas-luasnya sesuai dengan program pemerintah membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Panitia yang telah dibentuk melakukan sejumlah persiapan untuk pendirian perguruan tinggi di dataran tinggi Gayo. Komunikasi intensif dilakukan dengan Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) di Banda Aceh, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) di Medan,
Dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Perjuangan panjang ini membuahkan hasil dengan berdirinya Perguruan Tinggi Gajah Putih pada hari Selasa, tanggal 02 September 1986 yang ditandai dengan peresmian pendirian perguruan tinggi Gajah Putih dan Orasi Ilmiah oleh Gubernur Aceh, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA.
Gubernur dalam sambutannya menyatakan sukacitanya atas peresmian perguruan tinggi di Takengon.
Menurutnya, perguruan tinggi memainkan posisi sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Pada malam harinya, bertempat di Gedung Olah Seni dilangsungkan acara Malam Peresmian Pembukaan Perguruan Tinggi Gajah Putih.
Para inisiator, tamu undangan, dan masyarakat tumpah-ruah menghadiri acara tersebut sehingga Gedung Olah Seni tidak mampu menampung antusiasme hadirin.
Perguruan Tinggi Gajah Putih mengelola tiga sekolah tinggi: Sekolah Tinggi Pertanian Gajah Putih dengan status Terdaftar melalui Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor: 0650/0/1987 Tanggal 20 Oktober 1987; Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Gajah Putih Takengon dengan status Terdaftar melalui Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor: 256 Tahun 1989 Tanggal 12 September 1989;
Dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) dengan status Terdaftar melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 155/Dikti/ Kep. 1997 Tanggal 3 Juni 1997.
Seiring perjalanan waktu, civitas akademika Perguruan Tinggi Gajah Putih berusaha meningkatkan kualitasnya dengan mengajukan akreditasi program studi.
Melalui perjuangan yang penuh tantangan dan menguras biaya dan tenaga, STIT Yayasan Gajah Putih Takengon memperoleh status terakreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Nomor: 023/BAN-PT/AK-IV/IX/2000 dengan peringkat C.
Status terakreditasi ini berimplikasi pada kewenangan STIT Gajah Putih Takengon yang lebih luas dalam menyelenggarakan pendidikan secara mandiri yang berdampak langsung pada peningkatan jumlah Mahasiswa.
Pada sisi lain, pencapaian tersebut telah memantik aspirasi untuk mengupayakan perubahan status STIT Gajah Putih Takengon menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI).
Setelah berjibaku untuk melengkapi segala persyaratan, keinginan tersebut akhirnya terwujud dengan terbitnya izin penyelenggaraan Jurusan Dakwah dan Jurusan Syariah yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Koordinator Kopertais Wilayah V Aceh Nomor 5287/Kopertais/ V/2004, tanggal 12 April 2004.
Perubahan nomenklatur menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam telah menumbuhkan asa penegerian. Sejak tahun 2006, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon (Drs. Al Misry, MA) dibantu unsur pimpinan dan staf, bersama Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan pihak-pihak terkait melakukan serangkaian persiapan penegerian.
Ikhtiar untuk perubahan status kelembagaan diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelaksanaaan darma pendidikan tinggi sekaligus penuntasan misi sebagai lembaga dakwah dan pengembagan masyarakat Islam.
Berbagai dinamika tantangan dihadapi para pelopor penegerian mengemuka dari berbagai lini, khususnya terkait pembiayaan dan sumber daya manusia.
Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, harapan masyarakat untuk terwujudnya perguruan tinggi di wilayah tengah akhirnya terwujud dengan terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang Perubahan Status Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Gajah Putih Takengon, Aceh Tengah, Aceh.
Perubahan status ini telah menghasilkan sejumlah perubahan yang sangat positif dalam meningkatkan peran dan fungsi lembaga pendidikan tinggi ini dalam memberikan akses pendidikan tinggi yang lebih baik.
Pada aspek ketenagaan, perguruan tinggi yang pada awal penegeriannya ini hanya memiliki 2 orang dosen pegawai negeri yang merupakan dosen yang diperbantukan dari IAIN Ar-Raniry (Zulkarnain, M.Ag., dan Al Musanna, M.Ag).
Pasca penegerian, secara bertahap terjadi peningkatan jumlah Dosen, baik yang berstatus pegawai negeri maupun Dosen Tetap bukan PNS.
Pada tahun 2014, terjadi penambahan jumlah dosen berstatus PNS sejumlah 53 orang dan 42 Dosen Tetap Bukan PNS.
Selain itu kualifikasi pendidikan dosen juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Pada tahun 2012 saat penegerian jumlah dosen dengan kualifikasi pendidikan Doktor (S-3) hanya satu orang (Dr. Zulkarnain, M.Ag).
Angka ini bertambah dengan sangat cepat dan pada akhir tahun 2023 jumlahnya telah mencapai 38 orang, dan terdapat 12 orang lainnya yang sedang menjalankan tugas atau izin belajar pada pendidikan Doktoral di sejumlah perguruan tinggi di dalam dan luar negeri.
Pada sisi sarana dan prasarana, setelah penegerian terjadi percepatan pembangunan ruang kuliah, gedung biro, gedung perpustakaan dan sejumlah fasilitas pendukung lainnya.
Upaya percepatan pembangunan sarana dan prasarana semakin masif dilakukan setelah Pemerintah Aceh Tengah menyerahkan lahan pengembangan kampus seluas 15 hektar di Mulie Jadi.
Penting dikemukakan bahwa lahan tersebut merupakan pilihan terakhir yang dapat disediakan Pemerintah Daerah untuk pengembangan kampus.
Komplain terkait letaknya yang berdekatan dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) telah disampaikan secara langsung kepada Bupati.
Pada waktu itu dijanjikan dan dipastikan oleh Pemerintah Daerah bahwa TPA tersebut akan direlokasi dan infrastruktur berupa jalan, air dan listrik akan dilakukan percepatan pembangunannya oleh Pemda Aceh Tengah.
Dengan modal ketersediaan lahan lokasi pengembangan kampus yang telah bersertifikat, Pimpinan STAIN mengajukan permohonan dan memperesentasikan proposal pengembangan di hadapan para pejabat di Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),
STAIN Gajah Putih Takengon ditetapkan sebagai salah satu PTKIN penerima pembiayaan melalui mekanisme Proyek Surat Berharga Syariah (SBSN).
Melalui perjuangan yang sangat intens dan berliku, STAIN Gajah Putih Takengon ditetapkan sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang berhak memperoleh proyek SBSN selama tiga tahun berturut (2017, 2018, dan 2019) untuk membangun sejumlah gedung ruang kuliah, laboratorium bahasa, gedung pusat kegiatan mahasiswa, auditorium terintegrasi, laboratorium terpadu, serta moubilernya.
Sejak tahun 2016, seiring tuntutan dan aspirasi berbagai pihak dalam perluasan mandat kelembagaan perguruan tinggi di dataran tinggi Gayo ini, berbagai upaya untuk transformasi STAIN Gajah Putih Takengon telah dilakukan.
Salah satu tonggak penting dalam proses transformasi kelembagaan STAIN Gajah Putih Takengon menuju IAIN adalah dengan perhelatan seminar nasional yang dihadiri Bupati Aceh Tengah, tokoh agama, tokoh adat, perwakilan organisasi perempuan, dan perwakilan lembaga pendidikan menengah dan perguruan tinggi di Aceh.
Seminar Nasional Pendidikan Islam yang berlangsung pada 16 Januari 2017 tersebut menghadirkan Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Prof. Phil. Kamaruddin Amin, Ph.D sebagai narasumber.
Pada kesempatan tersebut, Bupati Aceh Tengah secara simbolis menyerahkan ringkasan eksekutif Proposal Transformasi Kelembagaan STAIN Gajah Putih Takengon menjadi IAIN.
Tidak hanya itu, setelah seminar tersebut, Tim melakukan kerja marathon untuk mendapatkan pernyataan dukungan dan rekomendasi transformasi STAIN Gajah Putih Takengon dari Pemerintah Aceh, Bupati Aceh Tengah, Bupati Bener Meriah, Bupati Gayo Lues, pimpinan lembaga keagamaan, tokoh agama dan pendidikan di wilayah tengah.
Masifnya dukungan dan inspirasi dan motivasi dari Dewan Penyantun yang telah berkiprah sejak tahun 1980-an dalam merintis dan menyelenggarakan cikal bakal STAIN Gajah Putih telah menggelorakan semnagt Tim yang telah dibentuk.
Pada penghujung 2019, perjuangan transformasi STAIN Gajah Putih mulai menunjukkan titik terang.
Upaya tidak kenal lelah yang dilakukan Ketua STAIN Gajah Putih Takengon dan jajaran, serta dukungan pemerintah Kabupaten Aceh Tengah untuk membangun komunikasi lintas sektoral mulai menunjukkan hasil.
Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN-RB),
Serta Kementerian Sekretariat Negara akhirnya menyimpulkan untuk melakukan verifikasi lapangan untuk memastikan terpenuhinya persyaratan transformasi kelambagaan STAIN Gajah Putih.
Pada tanggal 26 Oktober 2019, Tim Visitasi yang mewakili tiga kementerian tersebut melakukan verifikasi proposal transformasi kelembagaan dengan melakukan kunjungan ke STAIN Gajah Putih Takengon.
Dalam rangkaian kegiatan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) dengan berbagai elemen masyarakat, Tim Visitasi menyatakan bahwa kriteria dan persyaratan transformasi kelembagaan telah terpenuhi.
Pada tahun 2020, penantian untuk terwujudnya IAIN Takengon mulai menampakkan titik terang dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 41 tentang Pendirian Institut Agama Islam Negeri Takengon pada bulan Februari 2020.
Untuk menjalankan tata-kelola perguruan tinggi yang telah mengalami transformasi ini, pada tanggal 2 April 2020, Menteri Agama melantik Dr. Zulkarnain, M.Ag. sebagai Rektor pertama IAIN Takengon.
Perubahan status ini ditandai dengan penambahan 3 program studi baru: Pariwisata Syariah, Bimbingan Konseling, dan Pengembangan Masyarakat Islam.
Saat ini, IAIN Takengon mengelola 15 (lima belas) program studi sarjana (S-1) dan 2 (dua) program studi magister (Pendidikan Agama Islam dan Manajemen Pendidikan Islam), serta satu program studi Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Transformasi kelembagaan perguruan tinggi negeri satu-satunya di wilayah tengah provinsi Aceh ini telah membawa sejumlah pengaruh positif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Beragam dinamika, konflik dan kontestasi yang menyertai transformasi kelembagaan pendidikan tinggi keagamaan Islam ini menunjukkan bahwa capaian yang diraih saat ini bukanlah proses instan.
Keterlibatan banyak pihak dengan kontribusinya masing-masing telah turut mewarnai keberadaan perguruan tinggi yang diharapkan menjadi kebanggaan segenap warga negara yang berdomisili di dataran tinggi Gayo ini.
Dalam rentang perjalanan selama hampir 14 tahun pasca transformasi kelembagaan, upaya-upaya pembenahan dan perbaikan telah dilakukan dilingkungan internal sivitas akademika IAIN Takengon.
Sebagai satu-satunya perguruan tinggi negeri di bagian tengah Aceh, ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap keberadaan institusi ini sangat wajar.
Apalagi keinginan atau aspirasi tersebut dikemukakan masyarakat awam yang membayangkan bahwa dosen dan pimpinan perguruan tinggi merupakan orang-orang terpilih yang mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk memutuskan semua hal.
Dalam bayangan kelompok masyarakat ini, kampus dipandang sebagai institusi yang berkuasa penuh dalam memecahkan semua persoalan.
Namun, sangat disayangkan apabila harapan berlebih dan melampaui kewajaran tersebut dianut atau diyakini oleh kalangan terpelajar (misalnya jurnalis) atau pemerhati pendidikan yang tanpa melakukan analisa dan konfirmasi memadai justru membayangkan dan mengidealkan kampus sebagai wilayah yang berkuasa penuh untuk melakukan semua hal,
Bahkan pada hal-hal politis yang menjadi ranah pemerintah atau dunia usaha untuk melaksanakannya.
Dengan kemampuan analisis yang dimilikinya, kalangan terpilih ini (jurnalis dan pemerhati pendidikan atau apapun label yang disematkan),
Seyogianya mampu melakukan pemetaan terhadap hal-hal apa saja yang sebetulnya menjadi ranah yang dapat dikerjakan kampus.
Dalam Catatan Redaksi Lintas Gayo misalnya, IAIN diharapkan sebagai pencerah terkait carut-marutnya persoalan zakat di Kabupaten Aceh Tengah.
Dalam hal ini, penulis Catatan Redaksi agaknya lupa atau kurang memperbaharui informasi bahwa persoalan pengelolaan zakat tersebut masih bergulir dan sedang ditangani pihak terkait, khususnya pada sengkarut pengelolaan administrasi keuangan.
Sedangkan terkait edukasi, pengumpulan, pendistribusian dan mekanisme pertanggungjawabannya yang dilakukan Baitul Mal telah memiliki regulasi dan diawasi langsung oleh Dewan Syariah dan pihak-pihak terkait lainnya.
Terkait hal itu, penting ditekankan bahwa peran sivitas akademika IAIN Takengon bukanlah sebagai pengambil keputusan yang diperlukan kehadirannya untuk meramaikan atau memviralkan problematika yang sedang diurai benang-kusutnya oleh para pihak terkait.
Pada bagian lain catatan Redaksi disampaikan bahwa “banyak yang menilai pengelolaan kampus yang aut-autan menambah masalah besar di internal IAIN Takengon saat ini.”
Pernyataan ini mencerminkan kesimpulan atau lompatan pemikiran dari penulisnya yang tidak sabar untuk mengurai fakta di lapangan.
Pengelolaan atau tata-kelola kampus merupakan bagian tidak terpisahkan yang menjadi bagian yang digunakan pihak internal dan eksternal dalam menjamin terpenuhinya standar minimal perguruan tinggi.
Apabila pernyataan tersebut benar bahwa pengelolaan kampus dilakukan secara aut-autan, dampaknya tidak hanya dirasakan secara internal.
Lembaga-lembaga yang dibentuk negara dan bertugas melakukan pengawasan dan penjaminan mutu pasti akan melakukan langkah-langkah yang diperlukan dengan memberi teguran, peringatan atau bahkan sanksi.
Sekiranya penulis Catatan Redaksi jujur dan memahami tata kelola perguruan tinggi, yang bersangkutan pasti mengetahui bahwa secara berkala Badan Standar Nasional Akreditasi Pendidikan Tinggi (BSN-PT), Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi (LAMDIKTI), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat Jenderal (Irjen) melakukan audit mutu dan pengelolaan lembaga pendidikan tinggi.
Pernyataan Penulis yang bersembunyi atau berlindung dibalik ungkapan banyak yang menilai telah mengaburkan daya kritis dan kemampuannya untuk menyajikan informasi berdasarkan sumber informasi yang kredibel dan akuntabel.
Menyikapi dilema personal yang dialami Penulis Catatan Redaksi, sehingga sampai pada simpulan tersebut, seorang dosen IAIN Takengon sambil berseloroh setelah membaca catatan Redaksi tersebut mengungkapkan,
“Apabila dikelola secara aut-autan saja, program studi di IAIN Takengon sudah 80% nya terakreditasi Baik Sekali (B), bagaimana jadinya kalau dikelola dengan lebih baik lagi.”
Seloroh yang disampaikan tersebut setidaknya membantu untuk mengurai kedangkalan kesimpulan penulis Catatan Redaksi.
Penting dikemukakan bahwa capaian yang diraih saat ini belum akhir dari harapan.
Bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan akhir untuk terwujudnya kampus yang unggul dan berkelas masih jauh.
Upaya perbaikan dan peningkatan tata kelola kelembagaan harus dilakukan dengan cara yang lebih sistematis dan berkelanjutan.
Upaya-upaya sangat serius masih sangat diperlukan dalam upaya peningkatan reputasi dan rekognisi IAIN Takengon.
Sivitas akademika, khususnya unsur pimpinan yang menakhodai IAIN Takengon tidak mungkin menutup ruang terhadap catatan-catatan kritis yang disampaikan berbagai pihak untuk pembenahan di masa mendatang.
Pada bagian lain Catatan Redaksi, berlindung dibalik makhluk ghaib yang disimbulkan dengan pemerhati pendidikan, Penulis dengan serampangan menyatakan bahwa konflik kepentingan, penyahgunaan wewenang dan suap kerap terjadi dalam proses pemilihan pimpinan dan pejabat di lingkungan IAIN Takengon.
Dengan penuh rasa hormat kepada profesi Penulis Catatan Redaksi sebagai bagian dari kelompok elit yang bertugas memberi informasi dan pencerahan kepada para pembacanya, tuduhan ini sungguh sangat menyakitkan dan melecehkan.
Sebagai salah seorang yang telah berkiprah hampir dua dasawarsa di kampus ini, Saya dengan jujur dan dari kedalaman nurani harus menyatakan bahwa tuduhan bahwa untuk menduduki jabatan diperlukan suap adalah tidak benar dan tidak berdasar.
Hal ini sangat tendensius dan bermotif penyesatan opini publik terhadap institusi. Mengacu pada pengalaman personal,
Sejak tahun 2012 Saya beberapa kali diberi amanah sebagai salah satu anggota tim seleksi penjaringan ketua prodi/jurusan, Ketua/Kepala Lembaga atau pusat, dan pimpinan fakultas.
Dalam beberapa kesempatan tersebut, berulangkali Tim Seleksi bertemu dengan kandidat pimpinan atau pejabat yang justru menolak dan menyatakan ketidaksiapan dan ketidak-bersediannya untuk menduduki jabatan.
Dalam situasi demikian, demi keberlangsungan roda organisasi, tidak jarang Tim Seleksi harus melakukan pendekatan personal dan emosional untuk meyakinkan para kandidat untuk bersedia mengemban amanah sebagai pejabat atau pimpinan di lingkungan IAIN Takengon.
Sebagai institusi pendidikan tinggi yang baru mengalami transformasi, proses pemilihan pimpinan dan pejabat dilingkungan IAIN Takengon tidak mudah dilakukan karena terbatasnya sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi yang telah ditentukan.
Imajinasi hiperbolik penulis Catatan Redaksi bahwa terjadi persaingan ketat dalam perebutan jabatan sehingga diperlukan upaya-upaya non-prosedural untuk menduduki jabatan tidak didasarkan data dan informasi yang faktual.
Dalam konteks pengabdian dan penelitian, diakui bahwa capaian dalam bidang ini belum menggembirakan dan membanggakan.
Kegiatan pengabdian dan penelitian yang dilakukan Dosen dan Mahasiswa masih sangat terbatas yang dipublikasikan dan berdampak langsung terhadap kehidupan keagamaan, sosial dan budaya masyarakat.
Tetapi sangat tidak adil ketika penulis Catatan Redaksi menyimpulkan bahwa seakan keberadaan IAIN Takengon dalam upaya penelitian dan pengabdian sama sekali tidak dilakukan.
Penelitian yang dilakukan Mahasiswa sebagai salah satu persyaratan penyelesaian studi setidaknya telah memberi informasi yang berguna dalam rangka pembenahan berbagai persoalan nyata yang dihadapi masyarakat.
Tetapi, untuk melakukan tindaklanjut terhadap berbagai temuan tersebut tentu saja tidak sepenuhnya berada dalam ranah kewenangan dan kemampuan
Mahasiswa, Dosen, atau perguruan tinggi untuk menyelesaikan atau menuntaskannya. Dapat dikemukakan sebagai tambahan informasi bahwa melalui penelitian di program pascasarjana saja (izin penyelenggaraannya terbit tahun 2015 dan pada tahun 2018 telah terakreditasi Baik Sekali) telah dihasilkan lebih dari 200 penelitian sebagai persyaratan perolehan gelar magister pendidikan (M.Pd).
Penelitian tersebut sebagian besarnya mengidentifikasi dan memetakan sejumlah persoalan krusial dalam penyelenggaraan pendidikan agama di dataran tinggi Gayo.
Sejumlah penelitian lainnya mengungkap profil dan pemikiran sejumlah tokoh dan kiprah sejumlah institusi keagamaan yang selama ini nyaris dilupakan dan tidak pernah didokumentasikan.
Pada sisi lain, jurnal yang telah ditulis dosen IAIN yang telah dipublikasikan di jurnal yang terindeks di SINTA atau di Scopus yang digunakan sebagai bahan akreditasi prodi, bahan kenaikan jabatan fungsional dosen merupakan bukti bahwa penelitian dan pengabdian telah dilakukan.
Bahwa hasil-hasil penelitian tersebut oleh sebahagian kalangan dinilai belum memberi kontibusi nyata dan berdampak pada kebijakan dan peningkatan langsung terhadap seluruh kehidupan masyarakat tentu memerlukan ulasan lebih lanjut untuk mengungkap faktor dan kendalanya.
Penulis : Al Musanna
Dosen IAIN Takengon