Redelong –Wartagayo.com.- Penetapan empat pulau di wilayah Kabupaten Aceh Singkil—yakni Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang—ke dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara menuai gelombang penolakan dari berbagai kalangan.
Keputusan yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 300.2.2-2138/2025 tertanggal 25 April 2025 tersebut, tidak hanya mengundang kritik dari kalangan pejabat di Aceh, tetapi juga dari para aktivis mahasiswa di sejumlah kampus, termasuk yang berasal dari luar Aceh.
Furkan, seorang aktivis dari Serikat Mahasiswa Nasional Indonesia (SMNI), mengecam keras keputusan tersebut dan menilai bahwa tindakan Kemendagri merupakan bentuk pencaplokan wilayah Aceh secara sepihak yang tidak sah secara hukum dan melukai keadilan serta sejarah panjang ke-Aceh-an pulau-pulau tersebut.
“Keputusan ini mencederai keadilan hukum dan menyingkirkan fakta sejarah yang dimiliki Aceh terkait kepemilikan atas keempat pulau tersebut,” ujar Furkan, Senin (16/6/2025).
Furkan menegaskan, Aceh memiliki bukti kuat secara historis dan administratif atas keberadaan pulau-pulau tersebut. Ia mengungkapkan bahwa pada tahun 2022, tim dari Kemendagri sendiri telah menemukan fasilitas publik seperti musala, dermaga, kebun, hingga makam milik warga Aceh di pulau-pulau tersebut. Hal ini, menurutnya, menjadi bukti otentik bahwa pulau-pulau itu bukanlah wilayah kosong tanpa aktivitas, melainkan telah lama dihuni dan dikelola oleh masyarakat Aceh.
Lebih lanjut, Furkan menyebut bahwa pembangunan infrastruktur menggunakan dana APBD Aceh di wilayah tersebut telah berlangsung sejak tahun 2007, yang memperkuat klaim administratif Aceh atas pulau-pulau itu.
“Pemerintah Aceh harus bersikap tegas dan memperjuangkan kembali status keempat pulau ini sebagai bagian dari wilayah Aceh. Dasar hukum kita jelas, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Aceh, yang tidak bisa diubah hanya dengan keputusan seorang menteri,” tegasnya.
Furkan juga memperingatkan bahwa keputusan ini berpotensi merusak semangat otonomi khusus dan mengancam stabilitas perdamaian di Aceh yang telah dibangun dengan susah payah pasca-konflik.
“Kami mengingatkan pemerintah pusat agar tidak gegabah mengambil keputusan yang bisa membuka kembali luka lama rakyat Aceh. Jangan biarkan sejarah kelam yang penuh luka dan air mata itu terulang hanya karena kelalaian dalam menjaga rasa keadilan masyarakat Aceh,” tutup Furkan dengan nada tegas.